Inspirasi R.A Kartini: Renungan Perjalanan Jiwa, Peran Pribadi, dan Peran Sosial


Oleh : Erly Yunita
(Konselor/ Praktisi Pendidikan dan Perkembangan Anak)

Menjadi Kartini era kini tidak lah mudah, seolah menjadi tantangan besar yang harus dijalani. Kesetaraan gender menggema, sungguh mengusik logika. Kesetaraan gender apa yang dimaksudkan, dimana batasnya? Sedangkan di dalam agama sangat jelas ditegaskan- laki-laki adalah pemimpin bagi wanita.

Saya mencoba menelaah lebih ke dasar, lazimnya kebutuhan fundamental tidak memandang jenis kelamin; laki2 dan perempuan (Hierarki Maslow). Wanita dan laki-laki sama-sama ingin optimal dalam pemenuhan kebutuhan fisiologis, keamanan dan kasih sayang, sosial dan afiliasi, pemenuhan harga diri dan aktualisasi diri atau perwujudan diri. Mengusung istilah gender tentu berkaitan dengan fungsi dan peran individu berkaitan dengan pribadi dan sosialnya. Kita renungi, kita pahami. Sebagai wanita, kita memiliki hak yang sama untuk belajar, memiliki hak yang sama untuk mengembangkan diri, memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja di lahan domestik ataupun non domestik. Memiliki kesempatan yang sama untuk terus tumbuh dan bergerak maju (khususnya untuk wanita dengan self achievement tinggi). Memiliki kesempatan yang sama untuk berpendapat dan memperbaiki nilai kehidupan. Memiliki kesempatan yang sama untuk memahahat karya-karyanya.

Sebagai pribadi wanita dibebaskan untuk meningkatkan keindahan akal, jiwa, dan fisiknya. Tantangannya, harus memperjuangkan untuk seimbang ketiganya. Wanita yang seimbang mengasah dan memperindah akal dan jiwa-menjadi wanita cerdas yang berpengaruh di lingkungannya, akan tampil lebih sempurna ditambah kebaikan parasnya. Wanita yang menjaga keindahan fisiknya, akan tampil lebih mengagumkan ketika dia juga tampil sebagai wanita yang cerdas bermanfaat, dan santun pandai membawa diri terhadap lingkungannya.

Jika sudah bersuami, wanita juga harus meningkatkan banyak softskillnya, walaupun dalam agama kita sebagai wanita hanya diharuskan taat pada suami sebagai wujud ketaatan pada Allah. Akan tetapi, ketika ia mampu menjaga dan merawat suami, anak-anak, dan rumahnya tentu akan lebih menambah keharmonisan dan ketenangan dalam rumah tangga. Kenapa tidak untuk menguasai segala halnya?

Sebagai bagian dari masayarakat, wanita juga tidak luput dari perhatian. Posisinya di dalam masyarakat tentu memunculkan keberagaman peran : ibu PKK, ibu Pengurus RT, ibu Bekerja, dsb. Tidak ada perbedaan dalam menyikapinya. Ibu bekerja di luar rumah juga harus mumpuni mengurus rumah tangganya, mengurus keluarga, dan mendidik anak-anaknya. Pun Ibu bekerja di rumah, harus gesit belajar dan terus mengembangkan keterampilannya sebagai seorang wanita. Keduanya, harus bermuara dari rumah, rumah yang membuka peluang untuk terus belajar dan berkembang, rumah yang di dalam terdapat support system terbaik, saling mendukung dan melengkapi, juga rumah yang di dalamnya segala masalah dapat diurai dan diselesaikan. Intinya peran-peran strategis wanita, bermuara dari ‘rumah yang sehat’ bukan?

Tentunya, jika semua aspek dan peran wanita dipenuhi dengan baik, laki-laki akan memberikan nilai yang pantas dan objektif pada wanita. Tidak ada lagi kesenjangan dan pengabaian. Wanita belajar menjadi utuh, laki-laki memberikan kesempatan untuk wanita belajar dan mengembangkan pribadinya. Saya rasa, jika konsep kesetaraan memiliki kriteria seperti ini maka kesetaraan gender tidak akan melewati kewajaran dan batasnya. Semoga wanita-wanita di negeri ini pribadi yang utuh : akal, jiwa, dan fisiknya untuk dirinya pribadi, keluarga, dan masyarakat-- menjadi wanita hebat.

Mari kita terus belajar dan bertumbuh, berikan nilai pada kehidupan kita sebagai hamba, berikan seni indah pada proses bertumbuhnya. InsyaaAllah, keberadaan kita akan lebih bermakna.

Catatan dalam Ruang Konselingku
@rumahproduktifindonesia