1“Aku tidak bisa hidup tanpa dia! Aku tidak berguna!”

“Jangan begitu, masih banyak yang bisa kamu lakukan dalam hidup”
“Tapi cuma dia yang bisa membuatku bahagia”
“Masih ada pria-pria lain yang pasti lebih baik darinya”
“Aku tidak peduli! Pokoknya hidupku sekarang sudah tak berarti lagi!”

 

Percakapan singkat di atas adalah penggalan adegan dari sebuah sinetron di televisi. Kisah klise tentang seorang wanita yang ditinggal pergi pasangan yang sangat dicintainya. Banyak alasan kenapa sang pria pergi. Bisa jadi karena bekerja di lain kota, selingkuh dengan wanita lain, atau bahkan meninggal dunia karena tertular penyakit langka. Yang jelas, sepeninggal pria ini, sang wanita merasa kehilangan jati diri. Ia terlarut dalam emosi kesedihan yang mendalam hingga ia pun merasa hidupnya telah berakhir

Pernahkah Anda mengalami hal yang serupa? Mungkin bukan kasus putus cinta, namun kasus-kasus lain dimana Anda sulit menanggulangi emosi Anda sendiri. Salah satu kasus sederhana yang sering terjadi adalah ketika berkendara di jalan raya. Seberapa sering Anda merasa ”tersinggung” ketika ada kendaraan lain yang menyerobot jalur Anda, hingga kemudian Anda tancap gas untuk kembali menyusul kendaraan tersebut? Atau pernahkah Anda memaki-maki supir kendaraan umum yang seenaknya menghentikan kendaraan di tengah jalan untuk menaikkan penumpang? Atau kejadian emosional lain di situasi yang berbeda, misalnya di kantor. Di tengah kekalutan mendekati deadline kerja, biasanya apa yang Anda lakukan? Tak henti-henti mengumpat karena atasan Anda justru menambah beban kerja? Memarahi staf Anda karena sepertinya mereka malah kerja berlambat-lambat? Ataukah justru Anda bolos kerja karena tidak kuat lagi menghadapi tekanan di kantor? Tanpa disadari, ternyata emosi banyak sekali mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita sama-sama telusuri dulu apa yang dimaksud dengan emosi.

Emosi merupakan suatu reaksi mental dan psikologis yang muncul secara spontan ketika seseorang berhadapan dengan suatu kondisi. Misalnya, ketika seseorang menjalani hari pertamanya berkerja sebagai sekretaris, maka wajar jika ia merasa senang karena mendapat pekerjaan, sekaligus merasa takut melakukan kesalahan mengetik. Lebih lanjut, terdapat empat jenis emosi dasar yaitu:

  • Senang
  • Sedih
  • Marah
  • Takut

Keempat emosi ini kemudian berkembang menjadi berbagai emosi seperti cemas, malu, jijik, dan sebagainya. Emosi sendiri sebenarnya tidak memiliki muatan “benar” atau ”salah” karena ini merupakan reaksi manusiawi dalam menghadapi sesuatu. Perilaku yang mengikuti emosilah yang bisa dinilai “benar” atau “ salah”. Dalam kasus sekretaris baru tadi, jika ia tidak mampu mengatasi emosi takut yang ia rasakan dan kemudian mengetik dengan terlalu hati-hati sehingga memakan waktu yang sangat lama untuk membuat satu surat saja, maka perilaku inilah yang dapat dinilai “salah”.

Perlu diperhatikan bahwa tidak hanya emosi negatif seperti takut, marah, atau sedih saja yang bisa membuat kita menunjukkan perilaku yang “salah”. Emosi positif seperti bahagia juga bisa merugikan jika kita tidak paham bagaimana cara mengaturnya menjadi perilaku yang sesuai. 2Salah satu contoh adalah kasus siswa-siswa yang lulus ujian akhir nasional. Mereka menunjukkan luapan kegembiraannya dengan melakukan konvoi di jalan, membuat coret-coretan di dinding, atau bernyanyi-nyanyi dengan suara keras yang mengganggu orang lain. Tentunya kegembiraan mereka tidak salah karena mungkin mereka memang telah berusaha maksimal untuk lulus, namun cara mereka menunjukkan kegembiraan itulah yang tidak wajar dan dinilai salah menurut umum.

Wah, kalau emosi positif saja bisa merugikan, berarti kita benar-benar harus pandai mengendalikan perilaku yang menyertai emosi tertentu. Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mengendalikan perilaku emosional kita? Langkah pertama adalah memiliki self-awareness.

Self Awareness

Untuk dapat mengendalikan perilaku emosional, kita perlu mengenali dulu emosi apa yang kita rasakan pada suatu waktu. Self Awareness (kesadaran diri) adalah perhatian yang berlangsung ketika seseorang mencoba memahami keadaan internal dirinya. Prosesnya berupa semacam refleksi dimana seseorang secara sadar memikirkan hal-hal yang ia alami berikut emosi-emosi mengenai pengalaman tersebut. Dengan kata lain, Self Awareness adalah keadaan ketika kita membuat diri sendiri sadar tentang emosi yang sedang kita alami dan juga pikiran-pikiran kita mengenai emosi tersebut.
Seorang pakar psikologi yang banyak menekuni permasalahan emosi, John D. Mayer, mengatakan bahwa umumnya ada 3 gaya yang tampil ketika seseorang menghadapi emosinya, yaitu:

  1. Terbebani (Engulfed)
    3Tipe ini tenggelam dalam emosi-emosinya dan tidak mampu keluar dari situasi ini. Mereka tidak memahami emosinya sendiri sehingga bisa mudah larut terbawa emosi. Akibatnya, mereka tidak banyak berusaha untuk keluar dari kondisi emosi tertentu dan akhirnya tidak mampu mengontrol perilaku emosionalnya. Contohnya adalah kasus putus cinta yang jadi pembuka artikel ini, atau kasus orang yang memaki-maki pengendara lain karena lalu lintas yang macet. Mereka tidak meluangkan waktu lebih banyak untuk menyadari emosi sedih atau marah yang sedang mereka rasakan. Begitu merasakan emosi tertentu, tanpa pikir panjang mereka langsung bereaksi sesuai dorongan emosi tersebut.
  2. Menerima (Accepting)
    4Orang-orang ini sebenarnya menyadari emosi apa yang mereka rasakan namun cenderung menerima begitu saja emosi yang sedang terjadi dan tidak mencoba memahami emosi tersebut lebih jauh. Pada akhirnya mereka tidak berusaha untuk beradaptasi dengan emosi yang muncul. Hal ini bisa menjadi masalah ketika emosi yang dialami adalah sedih, lalu dibiarkan berkepanjangan sehingga bisa menimbulkan perasaan tertekan (depresi). Hal lain terjadi ketika emosi yang dirasakan adalah marah atau takut. Mungkin saja dalam jangka panjang, emosi marah yang dibiarkan ini bisa berubah jadi perasaan dendam, sedangkan emosi takut bisa menjadi paranoid (rasa takut berlebihan yang tidak jelas alasannya).
  3. Sadar diri (Self-aware)
    5Orang-orang dengan gaya ini menyadari dan memahami emosi yang terjadi pada dirinya. Mereka mengetahui batas-batas norma yang perlu dijaga dan berpikir untuk mengelola emosi yang dirasakan agar perilakunya masih berada dalam ambang batas tersebut. Pada waktu merasakan emosi positif, orang-orang yang sadar diri mampu menunjukkan kegembiraannya dengan sesuai dan bisa mempertahankan perasaan menyenangkan dari emosi itu untuk beberapa lama. Di lain pihak, ketika mengalami emosi negatif, mereka tidak terlalu terobsesi dengan hal yang memicu emosi tersebut dan bisa segera keluar dari perasaan tidak nyaman. Contohnya ketika orang yang sadar diri mengalami putus cinta. Kemungkinan besar ia akan memahami bahwa emosi sedihnya itu wajar ia rasakan, namun tidak akan berlarut-larut dalam kesedihan. Ia akan mencari kegiatan lain yang lebih produktif untuk mengatasi perasaan sedih yang mendalam tersebut.

6Dari uraian di atas jelaslah bahwa ketika sadar diri kita jadi lebih mudah mengontrol emosi yang dirasakan sehingga bisa lebih efektif mengendalikan perilaku emosional kita. Kita bisa lebih memahami emosi kita berikut alasan-alasan yang menjelaskan kenapa kita merasakan emosi tersebut. Dan dengan menyadari alasan munculnya suatu emosi, berarti kita telah mendorong otak kita berpikir tentang tingkat kepentingan sumber masalah.
Begini contohnya. Misalnya seorang karyawan terjebak di kemacetan. Orang yang sadar diri akan menyadari bahwa ia merasakan emosi marah karena dirinya lelah sepulang dari hari yang padat di kantor. Ia ingin cepat tiba di rumah karena anak dan istri telah menunggu. Ketika ada kendaraan lain yang menyerobot jalurnya, sebenarnya si karyawan sudah siap untuk murka, melampiaskan amarahnya pada pengemudi kendaraan yang tidak sopan itu. Tapi karena ia sadar diri, ia berpikir lagi alasan kenapa dirinya ingin cepat-cepat pulang. Pada akhirnya ia bisa menyadari bahwa jauh lebih penting untuk bisa tiba di rumah dengan selamat daripada menyulut perkelahian di jalan raya. Nah, pilihan yang tepat bukan?

Dengan keuntungan-keuntungan menjadi orang yang sadar diri, tentu kita ingin menjadi orang yang demikian. Sekarang pertanyaannya, bagaimanakah caranya?

Membangun Self Awareness

Kesadaran diri dapat dibangun dengan mengaktifkan bagian otak yang disebut neokorteks. Ini adalah bagian otak yang terkait dengan penggunaan bahasa. Artinya, untuk meningkatkan kesadaran diri, Anda perlu “membahasakan”, mengidentifikasi, dan menamai emosi yang Anda rasakan. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah:

  1. I Messages (Pesan “Saya.....”)
    7Menuliskan atau menyatakan perasaan dengan menggunakan pesan yang diawali dengan “Saya....”. Contohnya: “Saya merasa perilaku Anda sama sekali tidak menghargai kerja keras saya” atau “Saya kecewa dengan keputusan yang kamu buat”. I message menyadarkan Anda bahwa kendali dari permasalahan yang terjadi ada di tangan Anda. Anda yang merasakan sebuah emosi, Anda yang menyatakan, dan Anda yang memiliki kendali untuk mengubah keadaan.
  2. Berbagai Cara Berbagai Warna
    Menggunakan berbagai metode untuk melukiskan dan mendeskripsikan perasaan:
  • 9Warna, contoh: warna kuning untuk emosi senang, biru untuk sedih, merah untuk marah, dan lain lain. Anda bisa menggunakannya dalam berpakaian, tinta alat tulis, warna font di komputer, dan sebagainya.
  • Skala, contoh: “Saya cukup merasa bahagia, kira-kira 80 dari 100 lah”. Ini memberi gambaran yang cukup terukur kira-kira seberapa kuat intensitas emosi yang Anda alami. Jika Anda bisa mengatakan bahwa kesedihan Anda berskala 50:50, maka tidak ada alasan bagi Anda untuk berlarut-larut dalam kesedihan itu.
  • Analogi, contoh : “Kalau saya ini gunung, saya sudah mau meletus!”. Analogi ini juga bisa digunakan sebagai pengukur intensitas emosi Anda. Bagi orang Indonesia, analogi seperti ini biasanya lebih mudah dipahami karena budaya kita memang banyak mengajarkan simbolisasi dalam bahasa (contoh: bagai kacang lupa kulitnya).
  1. Menuliskan kebutuhan yang tidak terpenuhi
    9Hal ini ditujukan untuk menjelaskan kepada diri sendiri alasan dari emosi yang sedang Anda rasakan. Contoh: ketika Anda marah pada saat staf Anda tidak ikut memikul beban kerja yang sama, Anda bisa menuliskan “Saya ingin dia ikut lembur ketika saya lembur” beserta kebutuhan/keinginan lain yang Anda sadari. Semakin banyak kebutuhan/keinginan yang Anda tuliskan, maka Anda akan semakin menyadari keadaan emosi diri.
  2. Menuliskan yang ingin dilakukan
    Sebenarnya ini sudah memasuki tahap lanjutan dari Self Awareness. Setelah Anda menyadari emosi-emosi yang sedang dialami, langkah selanjutnya adalah menentukan hal apa yang ingin Anda lakukan selanjutnya terkait dengan emosi tersebut. Pada contoh Anda marah pada staf yang malas-malasan tadi, Anda bisa menuliskan “Saya ingin memotong gajinya kalau pulang lebih cepat lagi” atau “Saya akan langsung menegurnya jika ia menolak penugasan”. Dengan menuliskan hal yang ingin dilakukan, Anda memberikan kesempatan bagi otak untuk kembali berpikir: apakah hal-hal tersebut sudah sesuai dan tidak menyalahi norma yang berlaku.

10Dengan membiasakan hal-hal di atas, Anda akan bisa merasa lebih nyaman menghayati emosi-emosi Anda tanpa harus larut dan lepas kendali. Nah, setelah Anda belajar banyak tentang emosi dan Self Awareness, tidak ada alasan lagi bagi Anda untuk merasa tidak berdaya ketika dilanda suatu emosi yang kuat. Baik itu emosi negatif, maupun emosi positif. Sekarang Anda sudah belajar untuk membuat diri Anda sendiri menyadari emosi-emosi tersebut. Tinggal separuh langkah selanjutnya dimana Anda merencanakan perilaku yang sesuai untuk mengekspresikan emosi tersebut kepada orang lain.

ditulis oleh: Nurie Lubis / 23-Jan-2013 Self Awareness: Langkah awal menuju adaptasi emosi

Sumber: http://www.lptui.com