Dunia pendidikan, termasuk pendidikan formal, non-formal dan informal saat ini telah terbius oleh dogma, dalil-dalil, ataupun ajaran dari luar negeri yang justru sangat asing di negara ini.
Padahal, negara ini memiliki banyak ajaran yang sangat luar biasa dan tinggi kelasnya, seperti karya Ki Hajar Dewantara. Bila dicermati, yang terjadi sekarang adalah lemahnya sikap toleransi terhadap sesama warga bangsa, menurunnya kepercayaan akan kebenaran sistem negara-bangsa yang diwariskan oleh pendiri republik ini, ditambah lagi munculnya berbagai perilaku anarkis, sadistis, konfrontatif serta berbagai tingkah laku lain yang bertentangan dengan norma sosial, susila, dan agama. Banyak kalangan yang akhirnya bertanya, “Apa yang salah dengan pendidikan nasional sehingga belum berhasil membangun karakter bangsa sebagaimana yang diamanatkan Pancasila, UUD 1945, dan UU NO. 20 Tahun 2003? ”.
Proses pembelajaran yang bermuatan pendidikan karakter itu diselenggarakan dengan menegakkan dua pilar, yaitu pilar kewibawaan yang bernuansa sentuhan tingkat tinggi (high touch) oleh pendidik terhadap peserta didik dan pilar kewiyataan yang berisi kegiatan operasional pembelajaran berteknologi tinggi (high tech) dalam dinamika yang aktif, dinamis dan menggairahkan. Dua pilar pembelajaran tersebut merupakan implementasi pilar budaya nasional, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (artinya: di depan memberikan teladan, di tengah membangun semangat dan kemauan, di belakang membangun kemampuan dan kekuatan --dalam suasana sentuhan tingkat tinggi (high touch)–, dan alam takambang jadi guru --dalam suasana berteknologi tinggi (high tech)–.
Pendidikan karakter-cerdas di pusat pendidikan formal, dilakukan dengan mengendalikan seluruh aktivitas di satuan pendidikan melalui proses pembelajaran yang bermuatan nilai-nilai luhur Pancasila dan HMM dalam suasana interaksi yang cerdas. Pendidik dan tenaga kependidikan mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi, termasuk satuan pendidikan kedinasan dan satuan pendidikan nonformal, secara terus-menerus memelihara suasana kehidupan mendidik yang secara konsisten mengikuti tahapan thought, action, habit and character.
Institusi diklat yang ada di berbagai instansi pemerintah maupun swasta turut bertanggungjawab terhadap pendidikan karakter. Pelaksanaan diklat tidak hanya sebatas pemberian pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga ikut diarahkan kepada pendidikan karakter-cerdas.
Seluruh satuan pendidikan formal mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi dan satuan-satuan pendidikan nonformal, wajib menjadikan pendidikan karakter-cerdas sebagai bagian utama program satuan masing-masing. Saat ini, ada sejumlah satuan pendidikan yang memprakarsai pendidikan karakter-cerdas, dengan berbagai istilah yang berbeda, seperti integrasi soft skill dalam kurikulum, pendidikan budi pekerti, dan sejenisnya. Namun pendidikan budi pekerti yang dilakukan itu secara tersendiri tidak menjadi butir rekomendasi. Pendidikan karakter-cerdas justru hendaknya dimasukkan menjadi bagian integral dari seluruh program pembelajaran.
Untuk area dan tujuan yang lebih spesifik, terutama berkenaan dengan pendidikan karakter-cerdas pada satuan-satuan pendidikan formal dan nonformal perlu dibentuk Satuan Tugas pengembangan dan pelaksanaan pendidikan karakter-cerdas. Satuan Tugas ini dibentuk dan ditugasi secara resmi oleh instansi pendidikan untuk menyusun program, menyiapkan dan mengarahkan pelaksanaan serta memonitor penyelenggaraan pendidikan karakter-cerdas, sesuai dengan tingkat kewilayahannya, mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, sampai pada gugus satuan pendidikan. Dalam hal ini, LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) sebagai penyelenggara pendidikan profesi pendidik dan tenaga kependidikan, diikutsertakan dalam peran yang aktif dan langsung.
Pendidikan Karakter Oleh Prof. Dr. Prayitno, M. Sc. Ed.
Sumber : http://ganto.web.id