Oleh : Prof. Dr. Azmi, M.A, Ph.D


Terjadinya kontoversi pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) pada dasarnya mencakup dua hal utama. Pertama dengan adanya siswa yang tidak lulus dan kedua mengenai keabsahan UN. Hanya saja pers dan beberapa tokoh politik terkadang membesar-besarkan masalah ketidaklulusan pelajar. Seolah dengan ketidaklulusan itu, masa depan mereka telah kelam. Maka jadilah suasana yang serba riuh oleh ketidaknyamanan, rasa frustasi pada orang-orang yang merasa tidak mampu, dan beberapa pernyataan melemahkan lainnya.

Tujuan dari UN adalah untuk menentukan siapa yang mencapai target tujuan pendidikan, yang kemudian dinamakan kompetensi. Ujian yang baik adalah ujian yang bisa membedakan kemampuan pelajar. Bagi pelajar yang gagal mencapai target, maka ia masuk ke golongan tidak lulus ujian. Adalah naif orang-orang yang berjuang agar semua ’harus’ lulus ujian. Bisa jadi semua peserta ujian akan lulus ujian, asal mencapai target batas. Yang menjadi masalah adalah kecurangan ujian, bukan adanya ujian atau batas kelulusan.

Tampaknya dari tuntutan agar semua lulus, yaitu adanya keinginan untuk mendapatkan ijazah, bukan mutu. Banyak orang yang tidak menyadari saat ini jutaan ijazah berterbangan tidak mendapat pekerjaan selayaknya, atau tidak lulus tes masuk. Bisa-bisa nantinya ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri juga akan diprotes dengan alasan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak alasan orang-orang tetap memprotes UN. Diantaranya karena yang tidak lulus UN ternyata telah lulus PMDk, lulus di universitas luar negeri, atau jago fisika internasional. Tetapi tidak dikritisi apakah hal –hal tersebut telah berjalan secara benar?

Dalam penerimaan mahasiswa PMDK, patut dipertanyakan penilaian yang dilakukan oleh sekolah asal. Apakah telah berjalan fair atau tidak? Ada semacam rumor yang selama ini berkembang di kalangan orangtua dan siswa tentang manipulasi yang dilakukan guru. Beredar isu bahwa pada kebanyakan sekolah, anak guru mendapat kesempatan lebih tinggi untuk menjadi juara kelas, sehingga nantinya mereka bisa menerima PMDK. Pada taun 2000 lalu, saat penulis menjadi purek 1 IKIP Padang, universitas ini pernah menggagalkan PMDK seorang mahasiswa karena kedapatan ijazahnya dipalsukan.

Selain itu, patut pula dipertanyakan jurusan lulus PMDKnya seorang mahasiswa. Konsep awal PMDK adalah untuk menarik minat orang masuk IPB yang saat itu kurang diminati. Belakangan beberapa perguruan tinggi lain juga menawarkan program yang sama, umumnya untuk program studi yang kurang diminati. Namun ada pula PMDK yang diperuntukkan bagi calon mahasiswa dari daerah tertinggal, agar memajukan daerah tertinggal. Kasus lainnya yang terjadi adalah lulusnya seorang mahasiswa di PMDK untuk program yang belum terakreditasi, meskipun dengan nama Perguruan Tinggi tersebut bagus.

Lulus atau tidaknya seseorang terkadang bergantung pada nasib. Ketika seorang pelajar yang selalu menjadi juara, namun tidak lulus ujian karena lupa menghitamkan nama pada lembaran jawaban. Ketika ia mengulangi ujian tahun berikutnya, maka ia lulus UN. Saat ini ia meraih sukses di perusahaan ternama. Setidaknya ia mendapat pelajaran berharga agar berhati-hati dan tidak sombong. Nah, jelas saja tampak bahwa persoalan tidak lulus bukan sebuah harga mati.

Kembali pada alasan orang-orang yang memprotes pelaksanaan UN. Ketika seorang juara fisika internasional yang gagal UN. Apakah hal ini bersifat wajar? Kabarnya mereka yang ikut olimpiade tersebut, terlebih dahulu dilatih dan dikumpulkan di suatu tempat, serta dibina oleh ahli fisika terkemuka dengan pembiayaan yang sangat tinggi. Dalam pelatihan tersebut, ia dimantapkan untuk bidang ilmu fisika saja. Bukan berarti ia juga menguasai bidang studi lainnya. Berarti tidak ada penilaian mutlak jika hanya dilihat dari olimpiadenya saja.

Begitu pula bagi yang lulus di luar negeri. Perlu diketahui pula program studi apa yang mereka dapatkan. Untuk lulus di luar negeri dengan program yang terakreditasi, ada banyak tes yang harus dilalui. Para dosen pun banyak yang kesulitan untuk melanjutkan studinya di luar negeri karena masalah ters tersebut.

Ujian nasional diperlukan untuk mengetahui dan memacu kualitas sekolah. Seorang tim pemantau independen UN mengatakan adanya kecurangan dalam pelaksanaan UN. Jika patut ribut, maka yang pantas diributkan adalah masalah sekolah yang curang tersebut, seperti kasus yang pernah terjadi di Kota Medan. Sayangnya hal ini kurang mendapat respon publik.

Hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah meneliti sekolah yang siswanya banyak yang tidak lulus dan cari tahu penyebabnya. Apakah dari segi pengelolaaan, fasilitas, atau kompetensi guru yang menjadi penyebabnya. Anggaran DPR / DPRD sebaiknya diperuntukkan untuk itu, yaitu melengkapi kekurangan sekolah. Perlu diperhatikan, apakah materi, metoda ataukah kesejahteraan yang menjadi masalah. Tampaknya kebijakan menyekolahkan ratusan guru untuk mengambil S2 namun meninggalakan tugas mengajar mereka, juga perlu ditindaklanjuti. Begitu pula dengan aturan UN yang harus diperbaiki terus menerus dan aturan kelulusan dinilai kembali. Misalnya, apakah hanya cukup ditentukan oleh tiga mata pelajaran saja? Sedangkan usulan untuk menurunkan batas lulus, jelas bukan cara yang benar.

Kecurangan ujian harus diantisipasi dengan tindakan keras karena merusak moral bangsa. Namun bukan pula dengan menyerahkan ujian kepada masing-masing sekolah sebagai solusinya. Sebab ada banyak kepentingan yang membuat sekolah tidak menilai secar objektif, seperti desakan orangtua atau penilaian atasan. Karena itu, undang-undang untuk menyerahkan kelulusan pada sekolah adalah kurang tepat dan patut direvisi, karena tidak mengarah pada peningkatan mutu.

Tugas Dinas Pendidikan dalam hal ini yaitu melakukan kontrol agar hal tersebut tidak terjadi. Kalau perlu mengadakan ujian daerah untuk mata pelajaran yang tidak termasuk UN. Penilaian pada sekolah hendaknya tidak hanya berdasar nilai UN, tapi juga dari lulusannya yang lulus di Perguruan Tinggi tekemuka dan program studi yang bersaing.
Hanya dengan niat yang baik dari semua pelaku pendidikan, bisa terangkat masa depan pendidikan Indonesia yang lebih cerah. Bukan dengan melakukan kecurangan yang kelihatannya menguntungkan dalam jangka waktu pendek, namun mencelakakan dalam waktu panjang.

 

Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana UNP

Sumber : http://ganto.web.id