Feminis Therapy

Oleh,
KHAIRUL BARIYYAH

Sejarah Perkembangan

  • Teori dan praktik terapi feminis berawal dari gerakan feminisme pada tahun 1960-an, di mana para wanita membentuk sebuah forum untuk secara aktif mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sosial patriarkal yang memposisikan mereka sebagai anggota masyarakat kelas dua
  • Tahun 1970 merupakan awal terbentuknya konseling feminis sebagai salah satu pendekatan dalam psikoterapi. Konseling dan psikoterapi feminis tidak dikembangkan oleh tokoh tertentu, tidak memiliki posisi teoretis tertentu, serta tidak dilengkapi dengan teknik tertentu (Enns, 2004; Evans et al., 2005). Konseling dan psikoterapi feminis fase awal ini didasari oleh pandangan bahwa para perempuan sama-sama memiliki pengalaman ditekan dan menjadi korban. Karena itu, hanya pendekatan proaktiflah yang secara efektif dapat membantu mereka.

 

  • Teori feminis berkembang melalui tiga fase yang berbeda: radikal, liberal, dan moderat. Teori feminis awal mengambil bentuk konseling dan psikoterapi radikal, di mana teori ini menggunakan teknik-teknik yang didesain untuk membantu para wanita agar dapat menyadari bahwa masyarakat yang patriarkal merupakan pusat dari kebanyakan masalah mereka, dan perubahan tidak akan terjadi kecuali jika mereka diberdayakan agar dapat merasa dan bertindak sejajar dengan para pria
  • Tahun 1980-an dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut pemikiran feminis (Dutton-Douglas & Walker, 1988). Gagasannya adalah menguji teori-teori konseling tradisional dalam perspektif feminisme, dan kemudian menghilangkan bagian-bagian pendekatan tradisional yang memandang pria dan wanita secara dikotomis (patriarkal) (Elliott, 1999). Beberapa praktisi konseling feminis awal mengajukan androgini, yaitu integrasi antara karakteristik maskulin dan feminin tradisional, sebagai kondisi kesehatan mental ideal yang menjadi tujuan konseling (Enns, 2004). Konselor dan terapis feminis didorong untuk memilih metode-metode, yang terdapat dalam pendekatan-pendekatan tradisional, yang tidak berpotensi bias gender (Enns, 1993).
  • Sejak akhir tahun 1980-an, terjadi pergerakan dalam teori feminis yang memperkenalkan potensi feminin, fokus pada kesetaraan, dan mengajukan asumsi bahwa sebagian besar masalah wanita diciptakan oleh masyarakat yang tidak menghargai atau membebaskan para wanita untuk melakukan kehendaknya

Hakikat Manusia
Wanita, dalam banyak kultur besar, ditekan dan dieksfloitasi secara sistematis.
Dalam hal ini Llewelyn dan Osborne (1983) berpendapat bahwa terapi keluarga dibangun di atas empat asumsi dasar tentang pengalaman sosial wanita :
1. Wanita secara konsisten berada dalam posisi berbeda dengan pria. Misalnya, wanita cenderung memiliki kekuasaan dan status yang lebih lemah dalam pekerjaan. J.B. Miller (1987) mengobservasi bahwa wanita yang berusaha menjadi berkuasa ketimbang pasif dipandang sebagai egois, desktruktif dan tidak feminin.
2. Wanita diharapkan untuk sensitif terhadap perasaan orang lain, dan memberikan pelayanan emosional, terutama terhadap pria.
3. Wanita diharapkan untuk terhubung dengan pria, dengan demikian maka mendapatkan otonomi adalah hal yang sulit.
4. Masalah seksualitas menjadi sangat sulit bagi wanita. Faktor ini bersumber dari konteks sosial di mana imaji tubuh wanita yang ideal digunakan untuk menjual komoditas, kepercayaan diri seksualitas wanita merupakan ancaman bagi banyak pria dan kekerasan seksual terhadap wanita menyebar dengan luas.

Hakikat Konseling
Sejumlah penulis feminis telah menulis beberapa prinsip inti yang menjadi dasar dari praktik konseling feminis. Prinsip-prinsip tersebut saling berhubungan dan bertumpangtindih satu sama lain. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah:

  • Masalahindividu bersumber dari konteks politis. Prinsip ini didasari oleh asumsi bahwa masalah-masalah yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling bersumber dari konteks politik dan sosial. Khusus untuk perempuan, masalah tersebut seringkali berasal dari konteks marginalisasi, opresi, subordinasi, dan stereotipisasi. Pandangan tentang dampak konteks politik dan sosial terhadap kehidupan individu ini merupakan prinsip paling fundamental yang mendasari konseling feminis.
  • Komitmen pada perubahan sosial. Konseling feminis tidak hanya berusaha melakukan perubahan secara individual, namun juga perubahan sosial.
  • Suara, pemahaman, dan pengalaman wanita diberi tempat yang sejajar dengan pria.
  • Hubungan konseling berlangsung secara egaliter. Salah satu perhatian utama konseling feminis adalah mengenai power dan hubungan konseling yang egaliter. Para konselor feminis mengatakan bahwa telah terjadi ketimpangan power dalam hubungan konseling, sehingga mereka teguh mengusahakan egaliterianisme hubungan konseling serta menanamkan dalam-dalam prinsip bahwa konseli adalah ahli untuk dirinya sendiri.
  • Fokus pada kekuatan dan reformulasi definisi masalah psikologis. Beberapa konselor feminis menolak untuk memberikan label diagnostik “penyakit mental” pada konseli. Menurut mereka, faktor intrapsikis hanyalah penyebab parsial dari masalah yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling.
  • Mengenali semua bentuk tekanan.

Kondisi Pengubahan

  • Tujuan

Menurut Enns (2004), tujuan konseling feminis berkisar pada pemberdayaan, menghargai dan menyatakan perbedaan, berusaha melakukan perubahan daripada hanya sekedar penyesuaian, kesetaraan, menyeimbangkan independesi dan interdependensi, perubahan sosial, dan self-nurturance (menjaga diri). Enns juga menambahkan bahwa tujuan kunci konseling ini adalah untuk membantu individu agar dapat memandang dirinya sebagai agen kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain. Yang pasti, tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk menghilangkan seksisme serta segala bentuk diskriminasi dan penindasan lainnya di masyarakat (Worell & Remer, 2003).

  • Konselor

Konseling feminis bersandar pada seperangkat asumsi filosofis yang yang dapat diterapkan pada berbagai orientasi teoretis. Teori konseling apapun dapat dievaluasi dengan kriteria gender-fair, flexible-multicultural, interaksionis, dan orientasi sepanjang rentang kehidupan. Peran dan fungsi konselor akan berbeda satu sama lain bergantung pada teori apa yang dikombinasikan dengan prinsip dan konsep feminis.

  • Konseli

Konseli merupakan partisipan aktif dalam proses konseling. Konselor feminis akan memastikan bahwa konseling tidak akan menjadi arena di mana konseli (terutama konseli wanita) tetap pasif dan menjadi dependen. Sangatlah penting agar konseli bercerita dan memberikan pendapat mengenai pengalamannya.

  • Situasi Hubungan

Hubungan konseling didasari oleh upaya pemberdayaan dan egaliterianisme. Struktur hubungan konselor-konseli memperagakan bagaimana mengidentifikasi dan menggunakan kekuatan secara bertanggungjawab. Konselor feminis menyatakan secara jelas nilai-nilai yang dianutnya untuk mengurangi kesempatan pemaksaan nilai. Hal ini akan memberikan kesempatan pada konseli untuk memilih apakah ia akan meneruskan konseling bersama konselor atau tidak. Ini juga merupakan langkah untuk men-demistifikasi proses konseling

Mekanisme Pengubahan

  • Teknik-teknik konseling

Para konselor feminis telah mengembangkan beberapa teknik secara mandiri serta mengadaptasi beberapa teknik dari pendekatan lain. Teknik yang sangat penting adalah Consciouness Raising Technique yang akan membantu para perempuan membedakan antara hal yang diterima dan diharapkan secara sosial dengan hal yang benar-benar sehat untuk mereka. Teknik yang lain adalah:

  • Pemberdayaan (empowerment)
  • Membuka diri (self-disclosure)
  • Analisis peran gender (gender-role analysis)
  • Intervensi peran gender (gender-role intervention)
  • Analisis kekuatan/daya (power analysis)
  • Biblioterapi
  • Assertiveness training
  • Reframing dan relabeling
  • Aksi sosial (social action)
  • Kerja kelompok (group work)

Rujukan
Capuzzi, D. & Gross, D.R. 2007. Counseling & Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice-Hall
Corey,Gerald. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont,CA:Brooks/Cole
Seligman, L. 2006. Theories of Counseling and Psycotherapy. Colombus, Ohio: Pearson Merrill Prentice Hall.
Sharf, Richard S. 2004. Theories of Psychotherapy and Counseling. Columbus, Ohio: Pearson Merril Prentice Hall.

Khairul Bariyyah*) Penulis saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Universitas Malang