Konsep Diri Laki-Laki Minang dalam Budaya Matrilinial Sebagai Kebijakan Lokal Yang Terlupakan

Oleh: Mardianto*
 
Abstrak
This paper discussed about how the local policy became the foundation of the formation of the identity himself the individual where the system the value of the culture usually is part of the culture that functioned as the director and the promoter of the individual behaviour. The contruction of the characteristics individual minang apart from was based in the system the available value of the culture, also could be influenced by the system sosiolkultural that developed in the community, the tradition matrilinial one of the examples of the matter that also played a role in the formation of the identity especially the Minangkabau male individual, the element of materialism in the culture matrilinial, affected the person minang to always active and thought the realist.The role and the position of the man to the community matrilinial Minangkabau demanded him to independent in a diterminan manner functional personality, also to independent economically.

* Mardianto, Dosen Prodi Psikologi FIP UNP

 

Konsep Diri Laki-Laki Minang dalam Budaya Matrilinial Sebagai
Kebijakan Lokal Yang Terlupakan
 
A. Pendahuluan
Keterikatan individu pada nilai-nilai budaya yang dimilikinya secara psikologi turut serta membentuk kepribadian dari individu itu sendiri. Berry, Poortinga, dkk (1992) mengatakan bahawa secara psikologis budaya lebih menekankan proses belajar, problem solving dan pendekatan – pendekatan tentang perilaku yang berkaitan dengan suatu budaya.
Dalam ilmu croos-cultural psychology para ilmuan mencoba menghubungkan semua gejala dan fenomena psikologis dengan berdasarkan pada perbedaan nilai-nilai budaya dari seorang individu. Bagaimana budaya mempengaruhi kepribadian, motif, emosi, komunikasi, persepsi, sikap dan perilaku dari individu. Sistem nilai budaya biasanya merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong perilaku individu dan biasanya sikap individu itu di tentukan oleh tiga unsur, yaitu keadan fisiknya, keadaan jiwanya dan norma-norma serta konsep-konsep nilai budaya yang dianutnya. (Koentjoraningrat 1975).
Penelitian yang menyimpulkan bahwa remaja Jawa berkembang secara khusus, dipengaruhi oleh kebiasaan dan budaya yang berlaku dalam lingkungan masyarakatnya menunjukkan bahwa budaya mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian individu termasuk perkembangan kemandiriannya. (Sartini,1992).
Penelitian lainnya juga mengatakan, bahwa pada dasarnya setiap pandangan hidup atau sistem kepercayaan yang dianut oleh individu atau masyarakat, menimbulkan pengaruh terhadap sikap, cara berfikir dan kepribadian serta perilaku masyarakat tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah budaya, sistem nilai budaya adalah lapisan pertama dan tingkat paling abstrak dari adat istiadat, sedang lapisan kedua adalah sistem norma-norma yang berkaitan dengan peran yang dimiliki individu dalam masyarakatnya. Untuk lapisan yang ketiga adalah hukum yang berdasarkan pada norma tersebut sedang lapisan terakhir dan yang paling kongkrit adalah aturan-aturan khusus yang mengatur berbagai aktivitas sehari-hari. Menurut Matsumoto 1996, budaya adalah kumpulan dari pada sikap, nilai kepercayaan dan tingkah laku yang digunakan oleh sekelompok komunitas masyarakat yang selalu dikomunikasikan kepada setiap generasi melalui mediasinya. ( Matsumoto, 1996 ).
Tiap individu mengembangkan rasa identitas dirinya menjadi suatu kekuatan penting yang makin meningkat dalam mengarahkan perilaku. Banyak tingkah laku yang lahir dan ditentukan oleh tuntutan-tuntutan dan pengaruh dari luar diri individu, tetapi individu dapat mempersepsikan diri sebagai suatu kekuatan aktif yang dapat mencetuskan suatu rencana dan tindakan.
Dalam interaksi sosial dalam suatu kelompok budaya, individu adalah merupakan bagian anggota kelompok yang mendapatkan peran yang sesuai dengan sistem dan norma yang berlaku dalam budayanya. Peran sosial individu akan berubah kalau keanggotaan atau kedudukannya dalam kelompok berubah. Kehidupan individu dapat dipandang merupakan deretan peran, misalnya sebagai seorang anak, sebagai seorang suami, seorang istri, sebagai orangtua, karyawan atau bawahan dan lain sebagainya. Kesesuaian pada tuntutan peran seorang individu digerakan oleh penguat (reinforcement) apakah positif atau negatif, baik berupa uang, barang, prestise, status, hukuman, atau hilangnya keanggotaan dari acuan dan norma serta petunjuk perilaku peran tersebut.
 
B. Pembahasan
a. Kebijakan lokal (local wisdom) Minangkabau
Azmi, 2004 mengatakan bahwa “melihat orang Minang” adalah melihat nilai yang mereka anut sebagai falsafah hidupnya, yaitu sistem nilai budaya dan adat istiadat yang berfungsi sebagai pedoman dan pendorong setiap perilaku dari individu Minang itu sendiri. Sistem nilai itu yang akan memberikan arah atau orientasi kepada setiap orang Minang..
Falsafah adat Minangkabau tradisional segalanya bersumberkan pada alam, Alam Takambang Jadi Guru. Alam beserta hukum dan fenomenanya juga gejala-gejala yang ada dibaliknya dipedomani dan dipahami dalam memaknai arti hidup dan kehidupan. Alam selalu berubah berevolusi menuju kepada kesempurnaan dengan tetap berdasarkan pada hukum –hukumnya, begitu juga harusnya individu berorientasi pada kesempurnaan dengan mengembangkan kreatifitas.
Orang Minang berpandangan bahwa hidup pada hakikatnya baik, karena itu tujuan hidup adalah berbuat kebaikan atau jasa, “hiduik bajaso, mati bapusako”, mereka ibaratkan: gajah mati maninggakan gadiang, harimau mati maninggkan baling, manudia mati maninggakan namo”.Pepatah itu mengisyaratkan bahwa hidup adalah menghasilkan, setiap orang harus bekerja dan produktif sewaktu ia hidup sehingga dapat meninggalkan sesuatu apabila telah meninggal.
Sebagai individu orang Minang sangat egaliter, hal itu dinyatakan dalam ungkapan “duduk samo randah tagak samo tinggi. Ungkapan ini membuka kesempatan kepada setiap individu untuk mencari yang terbaik, karena setiap orang itu pada prinsipnya menpunyai hak yang sama dalam berinisiatif dan memutuskan sesuatu. Keinginan untuk sama dengan orang lain selalu digambarkan dengan “baa dek urang baitu dek awak”, sebagaimana orang lain dapat berhasil begitu juga kita sebagai pribadi. Motivasi untuk berprestasi dan meraih kedudukan yang sama dengan orang lain adalah faktor yang akan menentukan nilai dan harga diri seorang Minang.
Dalam teori psikologi untuk punya harga diri sebagai individu, seseorang itu harus dapat berusaha untuk menyelesaikan persolaannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Semua individu diharapkan memiliki stingkat kemandirian yang tinggi supaya bisa membantu dirinya sendiri bahkan orang lain dan dengan ini juga ia dapat ikut berperan aktif untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Perkembangan kemandirian seorang individu dipengaruhi oleh banyak faktor seperti; budaya, tingkat pendidikan,usia, pola asuh dalam keluarga, peran jenis dan jenis kelamin dan faktor personality lain.
Pembentukan karakteristik individu Minang selain didasarkan pada sistem nilai budaya yang ada, juga dapat dipengaruhi oleh sistem sosiolkultural yang berkembang dalam masyarakat. Adat matrilinial salah satu contoh hal yang juga berperan dalam pembentukan kepribadian terutama individu laki-laki Minangkabau. Unsur materialisme dalam budaya matrilinial, mempengaruhi orang Minang untuk selalu aktif dan berfikir realis.
b. Budaya Matrilinial
Matrilinial adalah merupakan suatu sistem kekeluargaan yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan Minangkabau, ia merupakan salah satu unsur identitas dari kebudayaan Minangkabau itu sendiri dan sekaligus menjadi sebuah karakteristik yang membedakannya diantara beberapa kebudayaan lain khusus yang ada di nusantara.
Kalau dilihat secara etymology atau berdasarkan bahasa, dalam bahasa Inggris kata matrilinial berasal dari suku kata matronly yaitu kata sifat berorientasi figure yang berarti keibuan, yang lainnya adalah kata matrimony yang berarti sebuah ikatan perkawinan. Pada tingkatan susunan kata yang lebih sempurna matriarchy dan matriarch yaitu artinya pucuk pimpinan di tangan wanita atau ibu, “per-ibuan”atau ibu pemimpin keluarga atau wanita pemimpin suku.
Khusus pengertian matriarch yang dimaksud dalam sistem budaya Minangkabau adalah ibu atau wanita sebagai dasar dari garis keturunan pada sebuah keluarga atau rumah tangga bukan sebagai pemimpin keluarga atau pun suku, karena tidak ada dalam sejarah peradaban Minangkabau perempuan yang menjadi pengulu dari sebuah suku. Intinya secara sistem atministrasi, dan struktur sosial tetap di pimpin oleh laki-laki. Lain halnya dengan sistem yang berlaku dalam hubungan kekeluargaan, dalam sistem kekeluargaan Rumah Gadang para wanita mulai dari seorang nenek dan para ibu diberi kekuasan yang besar dalam mengurus keluarga dan hak milik serta pengelolaan terhadap harta keluarga. Jadi pengertian matrilinial yang tepat secara terminology dalam masyarakat Minangkabau adalah suatu sistem kekerabatan yang berdasarkan garis keturunan ibu.
Sistem matrilinial mengatur garis keturunan seseorang berdasarkan garis keluarga ibu, dan seorang anak yang lahir akan masuk dalam susunan keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar keluarga anak dan istrinya, sama halnya dengan seorang anak dari seorang laki-laki akan termasuk lain dari ayahnya. Oleh karena itu dalam sistem kekeluargaan Minangkabau kedudukan keluarga batih atau keluarga inti menjadi kabur, dalam artian keluarga batih tidak merupakan kesatuan yang mutlak, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga batih atau keluarga intilah yang memegang peranan penting dalam hal pendidikan dan masa depan anak-anak mereka.
Beberapa sumber memaparkan ciri dan karakteristik dalam sistem matrilinial diantaranya :
1) Keturunan dan pembentukan kumpulan suku atau marga diperhitungkan menurut garis keturunan ibu.
2) Perkawinan bersifat matrilokal.
3) Anggota kelompok kerabat merasa bersaudara kandung, senasib, sehina, dan semalu.
4) Kekuasaan hakiki ada pada nenek dan ibu, sedang kekuasaan teknis ada pada mamak ( saudara laki-laki dari ibu ) dalam kaum.
5) Pola tempat tinggal bercorak dwilokal dan matrilokal.
6) Kesatuan keluarga terkecil adalah saparuik yang bersifat geneologis, dimana aturan keturunan dalam jaringan masyarakat yang menarik keturunan sepihak apak ikut ibu (matrilinial) atau ikut keluarga ayah (patrilinial).
7) Harta pusaka tinggi turun dari mamak (saudara laki-laki dari ibu) kepada kemenakan (anak dari saudara perempuan kandung) (Kato, 1989).
Beberapa istilah lain yang dipakai oleh penulis barat dalam mendefinisikan struktur sosial Minangkabau ini adalah seperti; matrilocal residence dari N.W. Thomas 1906, uxorilocal residencedari Firth (1936) ataupun duolocal residence oleh Murdock (1957). Menurut Mochtar Naim, semua istilah di atas walaupun sedikit mewakili tidak seluruhnya yang benar-benar dapat dipakai untuk menjelaskan bentuk struktur sosial yang sesungguhnya, karena pada prinsipnya baik suami maupun si istri tetap berada pada kelompok tempat tinggal kelahirannya di garis keturunananya masing-masing. (Mochtar Naim, 1984).
Secara umum Teori Matrilinial adalah suatu bentuk organisasi sosial sebagai facilittaing the peripherality atau pembatasan pada aktivitas bagi laki-laki, namun memberikan posisi yang positif pada wanita dalam hubungannya dengan persoalan interdetermination functionalist. Menurut R.J. Chadwick, (1991) ada teori khusus dan teori umum yang dapat menjelaskan matrilinial.Teori khusus adalah karena keterbatasan laki-laki hak laki-laki dalam domestic economy dan hal yang berhubungan dengan itu, sedangkan teori umum adalah karena perempuan Minangkabau sebagai centrality dan functional improtance dalam economy role dalam struktur masyarakat atau keluarga.
Namun dalam teori Minangkabau lainnya mendasarkan pada counterexample yaitu tori umum yaitu bahwa matrilinial adalah constitutes acertrifugal force bagi perempuan Minangkabau dalam hubungannya dengan sistem kekeluargaan dan sistem pewarisan dari garis keturunan ibu dan ini merupakan posisi yang tidak menguntungkan kalau perempuan itu migrasi.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa budaya matrilinial adalah merupakan suatu bentuk struktur budaya dan organisasi sosial dalam masyarakat Minangkabau yang menganut sistem garis keturunan dari keluarga ibu. Sistem ini meliputi pola kekerabatan, hubungan perkawinan, pewarisan serta tata nilai dan norma adat istiadat yang akan membentuk sikap dan perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
c. Konsep Diri Laki-Laki Minang dalam Sistem Matrilinial Dilihat dari Peran dan Kedudukannya
Dalam sistem matrilinial Minangkabau tradisional terdapat hal yang dilematis dalam diri laki-laki Minangkabau, baik secara fungsi atau tanggung jawab maupun secara hak dan kedudukannya. Kedudukan dan fungsi laki-laki Minang dalam orientasi tanggung jawab sosialnya lebih besar pada keluarga ibunya dari pada anak dan istrinya. Adanya ketidak seimbangan antara kewajibannya sebagai mamak dengan kewajibannya sebagai ayah.
Laki-laki Minang yang sudah menikah menurut hukum adat mempunyai fungsi dan peran ganda, yaitu; fungsi pertama sebagai seorang mamak berperan terhadap suku dan kaumnya, dan fungsi kedua sebagai seorang sumando yaitu seorang ayah dalam ikatan keluarga inti, yang berperan terhadap istri dan anaknya.
Sebagai seorang ayah dalam sistem tradisi Minangkabau ia disebut sebagai urang sumando, atau “tamu”. Seorang sumando dalam tradisi lama ia tidak terlalu dibebankan tanggung jawab dalam pengurusan rumah tangganya, seperti; menafkahi istri dan anak-anaknya, mendidik anak-anaknya, mencarikan jodoh anak-anaknya dan persoalan lain yang ada dalam keluarga inti pada umumnya. Pada sisi fisik atau lahiriyah tertentu fenomena ini tentu merupakan suatu hal yang menguntungkan sebagai seorang sumando, karena ia hanya tinggal pulang malam, makan dan bergaul dengan istrinya, lalu paginya ia pergi. Namun pada sisi psikologis ini suatu hal yang tidak menguntungkan, karena sama halnya dengan ia tidak diberi tanggung jawab , ia juga tidak punya hak atas keluarga, anak dan istrinya tersebut.
Privasinya sebagai seorang individu dan sebagai seorang suami dalam sistem keluarga rumah gadang ini sangat terbatas. Semua hak dan tanggung jawab itu telah dibebankan pada mamaknya, sebab anak-anak nya itu punya mamak, sebagai seorang mamak seseorang harus ber tanggung jawab kepada keponakannya. Demikian juga halnya dengan dirinya dalam keluarga ibunya.
Laki-laki Minang yang sudah kawin tetap berada dalam suku ibunya, dengan konsekwensi ini ia berbeda suku dengan istri dan anaknya , karena anaknya ikut dalam suku ibunya pula. Konsekwensi ini juga yang menempatkan ayah dalam sistem matrilinial, khususnya pada keluarga saparuik atau rumah gadang tidak merupakan bagian dari keluarga, melainkan hanya seorang tamu. Hubungan antara anak dengan ayah dalam tradisi ini sangat renggang, Anak yang lahir akibat perkawinan itu menjadi anggota kaum sang istri, sehingga ayah tidak perlu bertanggung jawab terhadap kehidupan anak-anaknya, bahkan terhadap keluarganya. Kelihatannya perkawinan mereka rapuh, namun para istri mempunyai daya pemikat yang khusus, yaitu resep kuno “cinta melalui perut suami” dengan kepintarannya memasak. (A.A Navis, 1984).
Sistem matrilinial pada sisi lain meletakkan laki-laki Minang sebagai mamak, dimana tuntutan suku dan sistem adat mewajibkan laki-laki bertanggung jawab terhadap kaum dan suku ibu sekaligus merupakan sukunya. Dalam kaum atau sukunya ia diberikan tanggung jawab untuk menjaga dan mengembangkan harta pusaka, kalau dapat ia harus memperluasnya untuk kesejahteraan anak-keponakannya. Ia akan tercela oleh adat kalau ia tidak dapat menjaga atau bahkan mengahabiskan harta pusaka yang telah ada.
Pada adat tradisi Minang kuno seorang laki-laki Minang dituntut untuk bertanggung jawab pada keluarga ibu dan kaum kerabatnya yang sesuku dan sekampung, namun setelah Islam masuk ia juga dituntut untuk bertanggung jawab pada istri dan anak-anak serta seluruh keturunannya.
Seluruh tanggung jawab yang dibebankan pada laki-laki Minangkabau tertuang pada pantun sebagai ajaran dari falsafah pantun adatnya yang berbunyi :
Kaluak paku, kacang balimbiang
Tampuruang lenggang lenggokan.
Anak dipangku, kamanankan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
 
Artinya:
Lekuk pakis, kacang belimbing
Tempurung lenggang lenggokan
Anak dipangku, keponakan dibimbing
Orang kampug dipertengangkan (tenggang rasa).
 
Pantun di atas mengisyaratkan bahwa laki-laki Minang itu bertanggung jawab pada keluarganya yaitu pada anak dari tanggung jawabnya pada keluarga dengan istrinya, juga keponakan (anak dari saudara perempuan) sebagai wakil dari tanggung jawabnya pada keluarga ibunya. Selain itu ia juga dibebani tanggung jawab sosial terhadap orang kampung dan kaum sukunya.
Budaya matrilinial dalam masyarakat Minangkabau adalah suatu bentuk sistem sosial kekerabatan yang pada dasarnya teribentuk untuk tujuan kemaslahatan dan kesejahteraan komunitas masyarakat Minangkabau itu sendiri. Sebagai suatu sistem norma, tentunya tidak semua dari komunitasnya memiliki persepsi yang sama terhadap sistem tersebut. Walaupun begitu secara umum sistem nilai budaya matrilinial adalah bersifat normatif yang secara prinsip berorientasi pada sesuatu yang positif. Prisip dasar nilai normatif dari sistem matrilinial adalah adalah berorientasikan pada beberapa aspek diantaranya :
1) Nilai budaya matrilinial menginginkan anak laki-laki untuk lebih mandiri, baik dalam bentuk financial maupun dalam bentuk personality.
2) Nilai tanggung jawab kaum laki-laki terhadap keluarganya.
3) Nilai perlindungan terhadap kaum perempuan, baik perlindungan dalam bentuk moral maupun dalam bentuk material.
4) Nilai komunalistik yaitu ikatan kekerabatan dalam masyarakat Minangkabau.
Penciptaan karakter individu laki-laki Minang yang mandiri itu dapat dilihat dari pola asuh terhadap anak laki-laki dan sistem pembagian harta pusaka dalam sistem keluarga matrilinial. Pada umur 6-10 tahun anak laki-laki dalam tradisi Minang sudah diajarkan untuk tidur di luar rumah bersama teman sebaya dan kakak laki-lakinya yang sekampung, mereka tidur di surau, langgar atau rumah tinggal dimana tempat itu ber fungsi bagi mereka sebagai tempat belajar Al-quran, ilmu agama bahkan belajar silat.
Pola hidup Rumah Gadang tidak memberikan tempat sebagai kamar tidur bagi anak laki-laki dan anak laki-laki yang tidur di rumah ibunya akan menjadi bahan olok-olokan bagi teman sebayanya dengan perkataan “tidu di katiak amak” (tidur di bawah ketiak ibu), suatu peryataan yang menempatkannya sebagai laki-laki yang pengecut dan anak manja. (Hamka,1984).
Salah satu karakteristik anak dan remaja khususnya laki-laki tidak mau atau jarang sekali meminta uang jajan langsung pada ayahnya, ia selalu meminta pada ibunya atau menghasut ibu untuk memintakannya pada ayah. Dalam urusan pembagian harta warisan pun anak laki-laki pada hakikatnya tidak memiliki hak, karena dalam aturannya ia tidak layak berbagi ataupun bersaing dengan saudara perempuannya, justru ia dituntut untuk mensejahterakan keluarga dan saudaranya.
Sejalan dengan itu berdasarkan pembahasan sebelumnya dari segi hak dan kedudukan serta fungsinya individu laki-laki Minang dalam masyarakat, menempatkan mereka pada posisi individu yang harus aktif dan berfikir realis serta memiliki tanggung jawab besar baik pada diri, keluarga, kaum, adat dan kampung halamannya (R.J.Chadwick 1991). Selain itu dorongan dari adat dan kaum untuk merantau, menuntut ilmu dan mengembangkan perekonomian keluarga dan kaum sekaligus sebagai proses pendewasaan dan perkembangan personality individu remaja
Sebagai individu, laki-laki Minangkabau baru dianggap sukses dalam masyarakat apa bila ia “alah jadi urang” atau sudah jadi “orang” yaitu suatu penilaian terhadap tingkatan keberhasilan seseorang dalam hidupnya baik secara materi maupun secara moril. Menjadi orang adalah individu yang sempurna sebagai manusia mereka dikategorikan kepada; Urang kebilangan yaitu orang yang ternama atau terkenal diantaranya urang dituokan, yang dituakan secara professional dan fungsional, urang pandai yang berilmu, urang bagak, (pemberani), urang kayo (kaya).
Falsafah materialisme Minangkabau mendorong remaja laki-laki agar kuat mencari harta kekayaan guna memperkokoh dan meningkatkan martabat keluarga atau kaum kerabat agar setara dengan orang lain, semua itu tertuang dalam ajaran pantun:
 
Apo gunonyo kabau batali
Usah dipaluik di pamatang
Pauikan sajo di tangah padang
Apo gunonyo badan mancari
Iyo pamaga sawah jo ladang
Nak membela sanak kanduang
 
Artinya:
Apa gunanya kerbau bertali
Usah dipautkan di pematang
Pautkan saja di tengah padang
Apagunanya kita mencari
Ialah untuk memagang sawah dan ladang
Hendak membela saudara kandung. ( Navis 1984: 108)
 
Melihat dari besarnya tanggung jawab yang diemban oleh seorang laki-laki Minangkabau, menempatkan ia sebagai individu yang harus dapat bertanggung jawab baik terhadap keluarga apalagi terhadap dirinya sendiri. Ia harus terlahir sebagai individu yang berkarakteristik mandiri dan bertanggungjawab.
Pada aspek perlindungan terhadap kaum perempuan dapat dilihat dari funsi dan kedudukan perempuan pada budaya matrilinial. Pada literature sebelumnya digambarkan bahwa adat matrilinial memberikat tempat posisi yang positif pada perempuan dalam hubungannya dengan persoalan interdetermination functionalist, dan memberikan keterbatasan hak laki-laki dalam domestic economy dan hal yang berhubungan dengan itu (Chadwick, 1991). Perempuan Minangkabau adalah sebagai centrality dan functional improtance dalam economy role dalam struktur masyarakat atau keluarga.
Matrilinial juga sebagai constitutes acertrifugal force bagi perempuan Minangkabau dalam hubungannya dengan sistem kekeluargaan dan sistem pewarisan dari garis keturunan ibu. Perempuan berperan sebagai “Bundo kandung”dalam sistem masyarakat yang memiliki kekuasaan hakiki yaitu sebagai nenek dan ibu, sedang kekuasaan teknis ada pada mamak ( saudara laki-laki dari ibu ) dalam kaum.
Sistem pewarisan harta pusaka dan sistem perkawinan yang bersifat matrilokal, berorientasikan pada suatu bentuk hak dan perlindungan terhadap perempuan. Sangat jarang dan hampir tidak ada kasus pertengkaran dan perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga dalam sistem ini yang menganiaya dan mengusir para istri dari rumahnya apa lagi malam-malam.
Sistem hubungan komunalistik, dalam kekerabatan yang saiyo sakato dalam bentuk kesamaan dan kebersamaan, (seiya sekata dalam permusyawaratan) melahirkan bentuk kolektivitas yang bersifat interdependence Hubungan individu dengan masyarakatnya dalam sistem sosiokultural Minangkabau.
Falsafah dan kebudayaan Minangkabau adalah mengandung nilai-nilai yang mendorong orang untuk selalu berfikir aktif, realis, dialektis logis dan dinamis dalam memahami kehidupan. Menurut Rudolf Mrazeck (1999), unsur materialisme dalam budaya matrilinial, mempengaruhi orang Minang untuk selalu aktif dan berfikir realis. Falsafah Minang memandang “konflik” sebagai sarana penting untuk mencapai integrasi masyarakat dengan Alam Minangkabau atau yang lebih dikenal dengan Ranah Minang (“Alam Minangkabau” tidak hanya sebagai wilayah territorial semata, tapi wilayah secara budaya, wawasan dan pemikiran) dengan dialektika akan lahir harmoni dalam kontradiksi ( Rudolf Mrazeck, 1999).
Menurut A.A Navis dan Idrus (1984) dalam Masrun dkk, (1988) faktor perilaku orang Minang secara umum itu terdiri dari beberapa aspek yang dibangun berdasarkan nilai-nilai budaya setempat, diantaranya adalah :
1) Harga diri.
Orang Minang berdasarkan nilai budayanya menganggap bahwa semua orang pada prinsipnya adalah sama, juga mempunyai potensi kemampuan yang sama, sehingga bila orang lain mampu melakukan dan mendapatkan sesuatu maka ia pun pasti dapat juga meraih hal yang sama. Hal ini yang melahirkan budaya kompetitif dan persaingan agar dapat meraih prestasi dan kedudukan yang sama dengan orang lain. Tingginya motivator untuk berprestasi dan meraih kedudukan yang sama dengan orang lain ini disebabkan oleh kedua factor ini yang akan menentukan nilai dan harga diri seorang Minang.
Namun semua itu tetap dalam koridor keseimbangan, ini diikat oleh niali dari pepatah “Kurang sio-sio, labih ancak-ancak” (kurang adalah sia-sia lebih adalah kegilaan), Merasa diri kurang dari orang lain adalah merupakan perilaku yang sia-sia, tetapi merasa diri lebih dari orang lain adalah merupakan suatu kegilaan (Masrun, dkk, 1988).
Budaya Minang mengajarkan bahwa orang yang kuat harus melindungi yang lemah yang selalu disimbolkan dengan “Baringin gadang tepi labuh” (pohon Beringin besar di pinggir jalan raya), yang siap melindungi musyafir yang lewat dan butuh tempat berteduh sementara. Namun walaupun begitu orang lemah di masyarakat Minang berpantang merendahkan diri, pantang mengeluh atau mengadukan kesulitannya pada orang lain karena factor harga diri tadi.
2) Rasa malu dan hina.
`Persaan malu dan hina ini akan lahir apa bila harga dirinya rendah atau di rendahkan orang lain karena perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma masyarakat dan ini merupakan suatu aib yang tidak termaafkan.
3) Pola awak samo awak.
Pola ini adalah salah satu bentuk interaksi sesama orang Minang yang bersifat komunalistik dan hubungan emosional baik secara tempat tinggal, hubungansosial, hubungan dalam dunia usaha, dan hubungan kekerabatan sesuku, sekaum, senagari bahkan seminangkabau.
4) Raso pareso ( Rasa periksa).
Raso adalah suatu bentuk penghayatan terhadap sesuatu hal secara inderawi, sedangkan pareso adalah segala sesuatu yang dihayati secara hati nurani. Keduanya itu harus sejalan, karena setiap orang harus bersifat objektif dan mempertimbangkan sesuatu berdasarkan hati nurani.
5) Kesamaan dan kebersamaan.
Sistem ini berkaitan dengan bentuk kerjasama berdasarkan keseimbangan, saling tolong menolong dalam sehina semalu dalam ikatan kekerabatan dan ajaran yang berprinsip bahwa setiap kebaikan menuntut imbalan berdasarkan ikatan moral dan etika. Setiap individu dapat membangun dirinya sendiri untuk berprestasi dan ia akan di bantu oleh kerabat dan masyarakatnya, sebagai konsekwensinya setiap individu merasa berhutang budi pada kerabat dan masyarakat dan senantiasa meras perlu untuk membayar kembali hutang tersebut.
 
6) Saiyo sakato ( Seiya sekata)
Salah satu bentuk makna demokrasi Minang yang mengaggap setiap perbedaan itu menunjukan adanya kedinamikaan dalam berfikir, dengan begitu setiap permasalah dapat diselesaikan secara matang dan dengan kesepakatan dalam musyawarah. (Masrun dkk, 1988).
Sejalan dengan itu berdasarkan pembahasan sebelumnya hal yang membentuk kepribadian laki-laki Minangkabau baik berdasarkan pola asuh, dari segi hak dan kedudukan serta fungsinya dalam masyarakat, menempatkan mereka pada posisi individu yang harus aktif dan berfikir realis serta memiliki tanggung jawab besar baik pada diri, keluarga, kaum, adat dan kampung halamannya (R.J.Chadwick 1991). Selain itu dorongan dari adat dan kaum untuk merantau, menuntut ilmu dan mengembangkan perekonomian keluarga dan kaum sekaligus sebagai proses pendewasaan dan perkembangan personality individu remaja.
Berdasarkan pemaparan dari beberapa teori dan pendapat tentang kepribadian orang Minang di atas, penulis mencoba menyimpulkan beberapa karakter yang dapat mewakili sebagai aspek indikator kepribadian laki-laki Minang yang di pengaruhi oleh budaya setempat. Aspek indikator itu diantaranya adalah:
a. Harga diri, yang melahirkan aktivitas dan kreatifitas untuk berprestasi.
b. Raso pareso (Rasa, periksa) yang melahirkan sikap positif dan objektif, penuh perhitungan dan pertimbangan yang matang dalam berbuat dan melakukan sesuatu.
c. Komunalistik, kekerabatan yang saiyo sakato dalam bentuk kesamaan dan kebersamaan melahirkan sikap tanggung jawab, baik pada diri sendiri, pada kaum kerabat, pada masyarakat dan tanggung jawab sosial lainnya,dalam bentuk kolektivitas yang bersifat interdependence.
d. Rasa “malu” dan “hina” jika harga dirinya jatuh karena melakukan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma adat yang ada dalam masyarakat aspek ini melahirkan sikap terikat pada tuntutan adat.
Nilai kemandirian individu dalam filsafat Minangkabau terkandung dalam makna-makna kosmosentris, yaitu bagaimana seharusnya individu memahami arti dibalik segala fenomena yang ada. Lima elemen universal yang mementukan orientasi nilai budaya Minangkabau bagi setiap individunya yaitu ; makna Alam, makna hidup, makna waktu dan makna kerja serta makan individu dalam interaksi sosial. (Azmi, 2004).
Makna alam tercermin dari ungkapan alam takambang jadi guru, yang mengandung pengertian bahwa setiap individu harus belajar dari setiap fenomena dan hukum alam atau nature. Alam selalu berubah berevolusi menuju kepada kesempurna, berjalan sesuai dengan ketetapan hukum-hukumnya. Ungkapan “sakali ai gadang sakali tapian barubah” yang mengartikan bahwa perubahan sebagai proses seleksi alam akan selalu ada dan hal ini mengisyaratkan bahwa hanya yang kuat yang akan tetap dapat bertahan, untuk itu individu harus dinamis dan bis menerima setiap perubahan. Sikap hidup yang berprisip “dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang” adalah sebuah arti dari menyesuaikan diri.
Makna hidup dalam filsafat Minang adalah menghasilkan, seperti pohon. Perbedaan individu ditentukan oleh prestasinya dalam berusaha. Orang Minang dituntut untuk selalu kreatif dan tekun berusaha dengan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, ia harus punya kegiatan dalam kondisi apapun baik ketika duduk maupun ketika berdiri. “Duduk marauik ranjau, tagak maninjau jarak” hidup sama halnya dengan kondisi berperang, orang yang dudukpun tetap bisa memberikan kontribusinya dengan meraut atau meruncingkan ranjau (alat perang tradisional dari kayu atau bambu) dan yang berdiri melihat situasi dengan meninjau jarak dengan musuh untuk mengatur strategi.
Makna individu dalam falsafah Minang meletakan kedudukan seseorang pada posisi yang sama (egaliter), untuk itu individu harus mempunyai harga diri yang tinggi. Orang Minang berdasarkan nilai budayanya menganggap bahwa semua orang pada prinsipnya adalah sama, juga mempunyai potensi kemampuan yang sama, sehingga bila orang lain mampu melakukan dan mendapatkan sesuatu maka ia pun pasti dapat juga meraih hal yang sama. Hal ini yang melahirkan budaya kompetitif dan persaingan agar dapat meraih prestasi dan kedudukan yang sama dengan orang lain. Tingginya motivator untuk berprestasi dan meraih kedudukan yang sama dengan orang lain ini disebabkan oleh kedua faktor ini yang akan menentukan nilai dan harga diri seorang Minang.
Namun semua itu tetap dalam koridor keseimbangan, ini diikat oleh nilai dari pepatah “Kurang sio-sio, labih ancak-ancak” (kurang adalah sia-sia lebih adalah kegilaan), Merasa diri kurang dari orang lain adalah merupakan perilaku yang sia-sia, tetapi merasa diri lebih dari orang lain adalah merupakan suatu kegilaan (Masrun, dkk, 1988).
Budaya Minang mengajarkan bahwa orang yang kuat harus melindungi yang lemah yang selalu disimbolkan dengan “Baringin gadang tepi labuh” (pohon Beringin besar di pinggir jalan raya), yang siap melindungi musyafir yang lewat dan butuh tempat berteduh sementara. Namun walaupun begitu orang lemah di masyarakat Minang berpantang merendahkan diri, pantang mengeluh atau mengadukan kesulitannya pada orang lain karena faktor harga diri tadi.
 
C. Penutup
Falsafah dan kebudayaan Minangkabau adalah mengandung nilai-nilai yang mendorong orang untuk selalu berfikir aktif, realis, dialektis logis dan dinamis dalam memahami kehidupan. Menurut Rudolf Mrazeck dalam (Tan Malaka, 1999), unsur materialisme dalam budaya matrilinial, mempengaruhi orang Minang untuk selalu aktif dan berfikir realis. Falsafah Minang memandang “konflik” sebagai sarana penting untuk mencapai integrasi masyarakat dengan Alam Minangkabau atau yang lebih dikenal dengan Ranah Minang (“Alam Minangkabau” tidak hanya sebagai wilayah territorial semata, tapi wilayah secara budaya, wawasan dan pemikiran) dengan dialektika akan lahir harmoni dalam kontradiksi.
Pembentukan karakteristik individu Minang selain didasarkan pada sistem nilai budaya yang ada, juga dapat dipengaruhi oleh sistem sosiolkultural yang berkembang dalam masyarakat. Adat matrilinial salah satu contoh hal yang juga berperan dalam pembentukan kepribadian terutama individu laki-laki Minangkabau. Unsur materialisme dalam budaya matrilinial, mempengaruhi orang Minang untuk selalu aktif dan berfikir realis.
Peran dan kedudukan laki-laki pada masyarakat matrilinial Minangkabau selain menutuntut ia untuk mandiri secara diterminan fungsional personality, ia juga dituntut untuk mandiri secara ekonomi.
Kemegahan dan kebanggaan menjadi laki-laki Minang adalah ketika mampu bertanggung jawab pada keluarganya yaitu ibu dan saudara-saudara perempuannya, dengan menjaga dan mengembangkan harta pusaka untuk anak-keponakan (anak dari saudara perempuan) demi kelestarian kaum dan suku yang dimilikinya.
 

 

DAFTAR PUSTAKA
 
Ali, U., 1978, Hukum Adat dan Lembaga-lembaga Hukum Adat Daerah Sumatra Barat, Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Padang.
 
Berry, J. W., Poortinga, Y., H., Segall, M.H. & Dasen, P.R., 1999., Psikologi Lintas Budaya : Riset dan Aplikasi, Gramedia., Jakarta.
 
Chadwick, R.J. 1991, “Matrilinial Inheritance and Migration in a Minangkabau Community”. Journal Manuscripts to Indonesia. Cornell Modern Indonesia Project., the Chicago Maual of style., ed 13, no 51, hlm  47-81.
 
Durin, H. B., 1984, Berbagai Masalah dalam Pewarisan dan Pengembangan Adat Minangkabau, Madju, Bandung.
 
Esten, M., 1993, Minangkabau dan Perubahan, Angkasa Raya, Jakarta.
 
Hamka, 1984, Islam dan Adat Minangkabau, Panjimas, Jakarta
 
Hurlock,E.B., 1974., Personality Development. Tata Mcgraw Hill., New Delhi.
 
Junus, U., 1982, Panggilan Tanah kelahiran: Dilema seorang Minangkabau, Jurnal dalam Masyarakat Indonesia, LIPI Jakarta
 
-----------., 1987. Kebudayaan Minangkabau., dalam Manusia  dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.
 
Koentjaraningrat., 1975. Persgeseran Nilai-nilai Budaya dalam Masa Transisi, Biana Cipta. Semarang.
 
--------------------, 1987 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.
 
Naim, M., 1984, Sikap dan Prilaku Masyarakat Minangkabu dalam Mengsukseskan Pembangunan, Madju, Bandung.
 
--------------, 1984, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Pt. Tirta Wacana, Yogyakarta.
 
--------------, 1975.,Besarnya Migrasi Sukubangsa Minangkabau dan Sukubangsa-sukubangsa lain di Indonesia Beberapa Perkiraan Statistik, Jurnal dalam Masyarakat Indonesia, LIPI Jakarta.
 
Nasroen, 1971, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, CV. Pasaman, Jakarta.
 
Navis, A.A, 1984, Alam Takambang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Grafity Perss, Jakarta.
 
Matsumoto, D., 1996. Culture and Psychology, Brooks Cole Publishing Company, California .
.
Saanin, H.B., 1984, Kepribadian Orang Minangkabau dan psikopatologinya, Gramedia, Jakarta.
 
Sairin, S., 1992, Beberapa Catatan Tentang Perubahan Kebudayaan Minangkabau, Makalah yang disampaikan pada Musyawarah Nasional II, Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang), Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang
 
Tanmalaka, 1999, Madilog: Matrealisme Dialektika Logika., Pusat Data Indikator, Jakarta.
 
Tsuyoshi, K., 1982, Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca: Cornell University Perss.